top of page

5 Alasan Mengapa Kamu Harus Meninggalkan Pasanganmu Yang Tujuan Hidupnya Adalah Bahagia

Writer's picture: Aldridge TjiptarahardjaAldridge Tjiptarahardja

Updated: Aug 4, 2021

#EssentialRelationship | Durasi baca: 5 menit


5 Alasan Mengapa Kamu Harus Meninggalkan Pasanganmu Yang Berprinsip "Yang Penting Happy" Di Era Globalisasi


Seringkali kamu mendengar pasanganmu (atau mantanmu) memberitahu prinsip hidupnya, "Aku sih yang penting happy.". Dengan pola pikir yang kritis dan pertimbangan 5 alasan ini, seharusnya kamu bisa lebih bijaksana dan selektif dalam mengarungi bahtera hubunganmu. Alasan berikut ditulis dengan singkat tanpa penjelasan yang bertujuan untuk menggugah pikiranmu saja. Happy Searching!


1. Bahagia Itu Tidak Spesifik

Apakah sama dengan senang atau pikiran positif? Apakah itu emosi atau feeling (atau mood)? Perasaan, seperti happiness, hanyalah reaksi kimia yang terjadi di otak (Harari, buku Sapiens Trilogi) dan tidak bisa menggantinya dengan mudah dengan pikiran (Goleman, buku Emotional Intelligence). Hidup sampai mati kok mengejar sesuatu yang tidak spesifik? Lantas apa sih yang dikejar? Tolong jelaskan, sayang.


2. Bahagia Itu Sangat Relatif

Si petani didatangin oleh dewa dari langit. Sang dewa akan mengabulkan permintaannya dengan syarat: apapun yang dia minta, dewa akan memberikannya ke tetangga dua kali lipat. Si petani pun meminta agar matanya diambil satu. Pertanyaannya, apakah kenaikkan gaji/omzet pekerjaanmu membuatmu bahagia jika gaji/omzet kolega atau kompetitormu juga bertambah? Ingatlah kata ini: schadenfreude.


3. Manusia Cenderung Menormalisasi Keadaan

Secara singkat, ini berhubungan dengan kemampuan manusia yang susah bersyukur. Sudah lama kamu dan pasanganmu bekerja, mendambakan rumah baru. Setelah sukses mendapatkannya pun, perasaan bahagia hanya bertahan awal beberapa hari menempati rumah baru. Kemampuan manusia untuk menormalisasi kenikmatanlah yang membuat pecandu narkoba meninggal karena overdosis.


4. Tren dan Kultur Yang Didorong Oleh Kaum Elit

Ini berhubungan dengan alasan mengapa eksposur sosial media jangka panjang mempengaruhi kesehatan mental. Ini juga menjelaskan mengapa standar kebahagiaan di kota lebih tinggi daripada standar di desa. Sejak kapan kamu tidak makan pizza selama tiga bulan membuatmu tidak bahagia? Sejak kapan setiap dua bulan harus beli baju dari olshop? Sejak kapan minum kopi harus dari Starbucks?


5. Pengaruh Artificial Intelligence (AI)

Jika propaganda politisi dan marketer korporat dengan mudah mengocok pikiran kita, apalagi kecerdasan buatan yang bekerja secara sistematis dan didukung oleh ketelanjangan privasi kita dalam Informasi Teknologi (IT). Tidak ada kejelasan seberapa jauh AI mempenetrasi pikiran kita. Menurut Elon Musk, kita sudah terlambat. AI sudah menjadi kecerdasan yang berpotensi sangat tinggi meredefinisikan ulang kebahagiaan kita.


Di era globalisasi, budaya asing, korporat, dan politisi telah mempropagandakan ilusi “the pursuit of happiness”. Ini merepresentasikan problem sosial yang mempengaruhi kesehatan mental, literasi, pendidikan, kebijakan terhadap kemajuan teknologi, dan banyak aspek lainnya. Selalu ingat, tidak ada satu kata “bahagia” atau sejenisnya di dalam dasar ideologi negara kita, Pancasila. Sudah seharusnya pasangan, sebagai unit masyarakat terkecil, saling melindungi tempat proses pertimbangan keputusan di lubuk hati yang terdalam (disebut juga black box). Jangan biarkan mereka menyentuh black box milik pasanganmu. Selamatkan atau tinggalkan.

648 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Instagram

©2021 by The Essentialism. Proudly created with Wix.com

bottom of page