top of page

Meredefinisikan Makna Pahlawan Di Saat Pandemi (Social Contract, Deontologi, & George Orwell)

Writer's picture: Aldridge TjiptarahardjaAldridge Tjiptarahardja

Banyak kampanye korporat, elit, dan influencer bertujuan baik. Sedikit yang benar secara prinsip. Sangatlah penting untuk mengetahui filosofi yang menjadi pegangan di tengah bombardir media.


"Play For The World" Campaign

Banyak propaganda menggambarkan kita yang disiplin mengikuti protokol dan mengorbankan kesenangan kita untuk kepentingan bersama adalah pahlawan. Salah satu contohnya adalah ads campaign Nike di awal pandemi Maret 2020 yang bertajuk "Play inside, play for the world." Campaign ini menggugah emosi audience seakan dengan mengorbankan kebebasan beraktivitas olahraga di luar rumah dan melakukan aktivitasnya di "inside" (dalam rumah), mereka sudah "play for the world", berkontribusi kepada dunia yang secara tidak langsung memberikan reward berupa self-esteem.



Sepintas tidak ada yang salah dengan kampanye ini; Nike mendorong audience melakukan sesuatu yang baik. Tetapi Deontological Approach mengingatkan kita bahwa aksi yang baik, menghasilkan konsekuensi yang baik BUKAN berarti benar. Lantas akan timbul pertanyaan: "Benar atau salah kan relatif?". Tidak, jika kita memiliki pondasi berpikir yang tepat. Deontologi mengajarkan bahwa benar atau salahnya suatu aksi harus diases berdasarkan aksinya itu sendiri tanpa melihat konsekuensi. Dalam konteks ini, aksi berupa penyampaikan message yang benar dan tidak bertolak belakang dengan prinsip dasar yang dianut masyarakat.


Enough of big words, singkat kata, pesan ini tidak sejalan dengan Social Contract [dijelaskan di artikel sebelumnya] karena menyerahkan sebagian hak kita adalah hal yang sudah sepatutnya menjadi kewajiban kita, BUKAN menjadi perilaku baik (good deeds) dengan ilusi reward (dalam konteks ini, berupa self-esteem). Tergenaplah nubuat George Orwell dimana korporat dan elit seringkali dengan segenap kekuatannya menanamkan ide di kepala kita, memberikan ilusi false reward [akan dibahas di artikel selanjutnya]. Wajib pajak yang disiplin lapor dan setor pajak tidak membuatnya menjadi pahlawan ekonomi. Demikian juga, individu yang berkorban banyak dengan mematuhi protokol kesehatan tidak membuat individu itu pahlawan pandemi. Ingat, deontologi tidak melihat konsekuensi; problem utama dari kampanye ini adalah pemberian false self esteem.


Jadi, jika kita sudah mengorbankan hak kita, jangan sedikitpun kita terkabur dengan false self esteem yang berpotensi memicu rasa heroik. Sebagai masyarakat yang patuh, we are merely nothing and are entitled to nothing. Mari meredefinisikan makna pahlawan pandemi yaitu mereka yang mengorbankan haknya bukan hanya untuk mematuhi general will tetapi yang rela berkorban untuk berbuat lebih dari sekedar mematuhinya.


https://jatim.idntimes.com/news/jatim/fitria-madia/crazy-rich-surabayan-sumbang-apd-untuk-pemkot-surabaya/4





@legasydealer


Don't get me wrong. Sekalipun secara pribadi, prinsip, pendapat, dan perilaku mereka (yang di atas ini) seringkali bertolak belakang dengan prinsip saya (essentialism), harus saya akuin bahwa dalam konteks ini, mereka sudah berbuat lebih dari sekedar mematuhi.


Bagikan semangat, pahlawan. Preach!

32 views0 comments

Recent Posts

See All

Comments


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Instagram

©2021 by The Essentialism. Proudly created with Wix.com

bottom of page