
Setiap bahasa memiliki kelemahan dan kekurangan yang unik. Ini sangat dipengaruhi oleh budaya dan perkembangannya. Artikel ini akan membahas Competitive Advantage Bahasa Indonesia (BI) dalam konteks stabilitas negara.
Perlu disadari posisi BI dalam eksposur maupun pemakaian di dunia sangatlah lemah. Sekalipun, jumlah populasi Indonesia menempati urutan ke-empat di dunia, pemakaiannya BI di peringkat ke-sebelas. Berbeda dengan Bahasa Spanyol dan Bahasa Portugis yang total penduduk negaranya jika digabungkanpun masih tidak melebihi setengah populasi Indonesia. Mungkin ini faktor kolonialisme Eropa yang kuat. Di sisi lain, eksposur bahasa dipengaruhi oleh pop kultur dan makanan. Jauh lebih banyak orang yang familiar dengan "saranghae" daripada "aku cinta kamu". Lebih banyak juga masyarakat dunia lebih familiar dengan sushi, pad thai, dan pho dibandingkan sate dan soto. Keterbelakangannya pengaruh Indonesia dalam era kolonialisme, pop kultur, dan gastronomi membuat pemakaian dan eksposur BI sangatlah rendah.
Namun, keunggulan sekaligus kelemahan BI dapat disadari dalam kemudahannya mengadopsi istilah baru. Karena dominasi negara Eropa, banyak hal-hal baru yang diperkenalkan oleh penjajah menggunakan istiliah yang berakar dari Bahasa Latin. Kehadiran "-isme" dan "-sasi" dalam BI sangat membantu proses pengadopsian kata asing. Contoh: investment menjadi investasi, nasionalism menjadi nasionalisasime. Tidak seperti bahasa Tionghoa dan Arab, kata investment dalam bahasa mereka terdengar dan tertulis sangatlah berbeda dari akarnya, Bahasa Latin. Ini memberikan kemudahan bagi ilmuan, jurnalis, dan seniman, tetapi tidak bagi pemerintah. Liarnya perkembangan BI yang tanpa memerlukan decree penamaan kosa kata adalah kelemahan bagi negara, bagaikan pintu gerbang yang terbuka lebar, tanpa pengawasan terhadap pengaruh asing.
Selain itu, BI dihimpit oleh mother tounge dari budaya leluhur. Sampai hari ini, beberapa bahasa daerah masih dipakai dalam kehidupan sehari-hari. Tentunya dalam upaya pelestarian budaya, ini adalah hal yang indah. Namun sayangnya dalam konteks stabilitas negara, memusnahkan bahasa daerah adalah harga yang harus dibayar. Pelarangan penggunaan Bahasa Tiongha (mungkin secara informal) di generasi kakek nenek kita memang terdengar absurd. Tetapi dalam hal pengendalian kedaulatan, pemimpin orde baru bisa dikatakan mengambil langkah yang tepat, hanya saja kurang beberapa langkah saja. Pertanyaannya: mengapa bahasa Tionghoa yang malah penggunaannya tidak terkonsentrasi di satu lokasi saja yang dilarang? Bagaimana dengan bahasa Aceh atau berbagai bahasa yang digunakan di Timor Leste dan Papua yang penggunaannya jauh lebih terkonsentrasi? Letak absurdity ada di larangan yang tebang pilih saja. Tidak ada politisi yang berani angkat suara mengenai isu sensitif ini karena mereka cenderung main aman, merangkul budaya daerah demi mendapatkan suara. Namun, beberapa sudah terbukti. Andai saja bahasa etnis dipepet lebih cepat, mungkin Indonesia bisa jauh lebih utuh.
Jika Sumpah Pemuda adalah first step, second step-nya adalah memaksimalkan potensi. Competitive advantage BI dapat dilihat dari kedaulatan penuh negara kita dalam membentuk bahasa persatuannya sendiri. Selain Indonesia, adakah negara yang menggunakan BI (selain akarnya yaitu Bahasa Melayu yang sikit-sikit mirip)? Perlu diingat, hanya beberapa negara yang berkuasa terhadap bahasanya sendiri. Sang adidaya Amerika Serikat pun tidak berkuasa atas Bahasa Inggris. Tiongkok yang memilik The Great "Firewall" pun tidak memiliki kontrol penuh terhadap Bahasa Tionghoa, mengingat adanya Hongkong, Macau, dan Taiwan dan persebaran etnisnya di penjuru dunia. Pemakaian Bahasa Arab terbagi di berbagai wilayah Timur Tengah. Terlebih, ini diamplifkasi oleh persebaran penggunaannya yang sedikit. Sekalipun ini jelas merugikan, tetapi jika digabungkan dengan kedaulatan berbahasa yang penuh, itu menjadi alat yang kuat dalam stabilisasi negara.
Kontrol yang independen terhadap bahasa persatuan akan membuahkan hasil jika dilakukan dengan aktif dan maksimal. Novel 1984 oleh George Orwell mengisahkan Winston sebagai pegawai sipil bertugas mengubah sejarah lampau dengan memusnahkan kosakata atau menyunting artikel lama yang berpotensi mengancam propagandanya. Orwell dalam kumpulan esainya di How I Write, juga menekankan besarnya peran bahasa dalam mempengaruhi kognitif individual maupun kolektif. Dalam novel Brave New World oleh Alduous Huxley, banyak karya sastrawan dan kitab penting dijauhkan oleh The World Controller dari penduduknya. Huxley, menceritakan bahwa Hamlet, masterpiece Shakespeare, dihilangkan dari peredaran masyarakat. Ia menekankan bahwa dunia modern yang tegas tidak membutuhkan keindahan, melainkan kestabilan. Demikian juga bahasa daerah dan segala sastra peninggalannya harus dikorbankan. Buat apa kehadiran banyak bahasa jika praktis menggunakan satu saja? Jadi, dapat disimpulkan bahwa bahasa adalah senjata yang ampuh dalam segala hal. Saya yakin Joseph Goebbels sangat setuju dengan pernyataan ini.
Penggunaan bahasa dalam mengendalikan, terutama dalam hal persepsi masyarakat dapat dilihat dari kata "pemerintah". Dalam Bahasa Inggris, pemerintah adalah "government". Kata ini berasal dari kata "governance" yang berkaitan dengan pengaturan. "To govern" sendiri berarti mengatur. Perlu digarisbawahi bahwa dalam konteks ini, negara yang menggunakan Bahasa Inggris sedikit lebih unggul dalam persepsi masyarakat terhadap pemerintahnya. Di BI, "pemerintah" berasal dari kata "perintah". Pertanyaannya, kita sebagai manusia modern lebih suka yang mana, diatur atau diperintah? Ini baru aja satu kata, belum satu kamus.
Pengendalian ini membutuhkan tangan besi yang cukup kuat. Inilah yang membuat negara kuat semakin kokoh tak tertandingi. Sayangnya, Indonesia mungkin masih sangat jauh dalam melakukan ini. Selain terpecah belahnya power di Indonesia karena halu dari partai politik yang masih hopeful, Indonesia masih banyak PR yang diprioritaskan. Sekalipun ini sudah masuk agenda Menkominfo, coba pikirkan permasalahan yang lebih mendesak. Boro-boro mengurus bahasa dan perkembangannya, pengamanan data pribadi masyarakat di instansi sendiri aja masih sering bocor, belum lagi meregulasi privasi data pribadi di perusahaan raksasa teknologi. Bidang ini bisa digambarkan sebagai resep makanan orang kaya yang benar-benar memanjakan lidah, bukan yang mementingkan plating-an cakep. Politisimu masih bersaing unjuk kehebatan dan ogah melakukan pekerjaan yang underground begini. Ini adalah kunci tapi kamu masih jauh, Indonesia. Belum levelmu. Masih jauh.
Pembahasan lebih lanjut akan dibahas di artikel selanjutnya. Stay tuned.
Comments