
Scrolling Instagram mengidamkan handbag atau mobil influencer membuat kamu lebih bersemangat bekerja, janganlah berpikiran itu adalah motivasi yang positif. Hasrat untuk memiliki materi non-esensial sangatlah menonjol di dunia modern ini. Mungkin kamu yang lahir di abad ke-21 sudah tercuci otaknya dan menganggap ini tidak aneh. Coba kita bayangkan pemandangan lazim di kalangan middle class. Mereka sudah kaya tapi masih bekerja setengah mampus untuk memiliki properti lebih. Mereka membeli dua sampai empat bidang tanah yang dibiarkan kosong, yang menyebabkan harga tanah sekitar cepat melambung. Padahal banyak orang kelas bawah yang lebih kepepet, mereka akan lebih kesusahan memilikinya. Tapi kali ini kita tidak membahas tentang rasa belum puas atau efek yang berhubungan dengan overpossessiveness. Ini bukan tentang meritorkasi, privilese, kompetisi dan konsekuensinya. Ini tentang hasrat manusia dengan persoalannya, yang absurd.
Seorang mahasiswa pernah bertanya kepada guru besar Milton Friedman alasan mengapa harta pribadi seseorang yang meninggal tidak dikembalikan ke pemerintah agar setiap orang yang lahir diberikan kesempatan yang sama? Ia menjawab bahwa penggerak utama seseorang untuk bekerja keras adalah keturunannya. Setiap orang tua ingin memberikan yang terbaik bagi anaknya. Terdengar mulia, tetapi pikirkanlah baik-baik. Mereka mengorbankan waktu dan tenaga selama hampir seumur hidupnya hanya untuk meninggalkan warisan bagi anaknya, yang juga suatu saat akan meninggal dan melakukan hal yang serupa untuk keturunannya juga. The cycle goes on and on. Bekerja untuk yang akan mati, sungguh sangatlah dangkal nan fana.
Selain untuk keturunan, hasrat untuk memiliki didasari oleh keinginan manusia untuk menjadi unik. Mungkin ini mengingatkan kita pada kalimat cliche pasangan kalian: “Aku tidak seperti cowo/cewe pada umumnya kok.”, ujar semua mantan. Demikian juga, motivasi manusia modern yang ingin menjadi unik dimiliki oleh semua manusia. Individuality adalah sebuah kualitas yang membedakan satu individu dengan yang lain. Individuality adalah jika kamu membeli tote bag-nya Christian Dior dan ingin mencetak namamu disana. Individuality adalah mengonsumi soft drink dengan namamu yang tertera di kalengnya, yang sudah diprediksi oleh The Coca-Cola Company. Ini berhubungan erat dengan self actualisation-nya Abraham Maslow's Hierarchy of Needs. Demi kepuasan diri, seseorang bisa mengorbankan banyak hal untuk mengejar individuality yang terkadang hanyalah ilusi marketing. Tas dan minuman bersoda itu diproduksi masal dengan gimmick yang unik. Pertanyaannya, jika semua orang ingin menjadi berbeda, apa yang membuat mereka berbeda?
Karna hidup itu pendek dan seni itu panjang, maka manusia juga ingin menikmati nilai estetika seiring perkembangan zaman. Shopping spree setelah gajian untuk membeli baju H&M dengan model terbaru adalah penggambaran hasrat yang subtle dalam kehidupan sehari-hari. Ilustrasi ekstrim dapat dilihat jika ada tetanggamu yang konon katanya mengoleksi motor di garasinya. Sampai hari ini, jumlah dan merk motornya masih merupakan misteri bagi kamu dan tetangga lainnya. Terkadang ini bukan tentang pembuktian diri ke orang lain melainkan ke dirinya sendiri, self actualisation yang dipicu oleh trend. Sungguh, seumur hidup, kita tidak pernah bebas memiliki persepsi terhadap keindahan. Too bad, Shakespeare. Beauty ain't in the eye of beholder no more. Beauty is in the hand of capitalists.
Kesadaran yang tinggi mecelikkan mata kita bahwa banyak keinginan barang dan properti non-esensial seringkali mengaburkan penilaian kita yang rasional. Secara tidak langsung, dengan hasrat kita yang menjadi blunder di free market, kita sudah "sepakat" membuat hidup kita sendiri menjadi sengsara.
Teringatlah saya pada perkataan Ibu Menkeu Sri Mulyani bahwa negara yang maju itu asetnya yang seharusnya bekerja keras. Aset nganggur akan mendatangkan mala petaka. Maka dari itu, artikel berikutnya akan membahas overpossessiveness yang berlebihan yang didorong oleh overproduction yang membentuk lingkaran setan di dalam free market dan kapitalisme. Ini akan membawa kita ke diskusi tentang konyolnya legalisasi rokok dan miras, menjamurnya foodpreneur dan clothing line, dan bahayanya free tester.
Stay tuned.
Commentaires