top of page

Semua Wanita Menjual Tubuhnya

Writer's picture: Aldridge TjiptarahardjaAldridge Tjiptarahardja


Beberapa dari kita menyadari bahwa tidak ada yang memaksa kita untuk melakukan suatu hal, tetapi terkadang kita merasa kondisi tidak memberikan kita pilihan. Terkadang free market di era kapitalisme hadir sebagai sebuah ilusi kebebasan. Dalam artikel ini, wanita lah yang akan menjelaskan dengan kontradiksinya dalam padangan seksualitas. Artikel ini juga memegang dua asumsi: ceteris paribus dan semua individu adalah makhluk rasional.


Free Market

Seringkali kita merasa terpaksa menjadi budak korporat di perusahaan ataupun bucin dalam hubungan. Pertanyaan sakti yang akan mencelikkan matamu: siapa yang memaksamu? Siapa yang memaksamu untuk masuk ke dalam kontrak pekerjaan atau hubungan? Dan jika kamu bisa menyebutkan sosok yang dekat denganmu yang memaksakan kehendaknya (cth: atasan, orang tua, pasangan), coba tanyakan pada dirimu sendiri: adakah konsekuensi fatal (yang mengancam keselamatan nyawa) yang mungkin terjadi jika kamu melawan kehendak mereka? Jika tidak, kamu sebenarnya ada di dalam free market.


"... in free market, you are free to enter, you are free to leave."

Tidak ada yang memaksamu untuk bekerja, demikian juga, untuk mengikuti kehendak pasanganmu; karena in free market, you are free to enter, you are free to leave. Kamu bisa resign atau putus hubungan, kemungkinan terburuk ya bersabar menunggu kontrak habis atau keputusan hakim dalam perceraian. Mindset ini menekankan bahwa semua itu adalah sebab akibat pilihanmu sendiri, tanpa unsur paksaan. Lantas mengapa kita terkadang merasa terpaksa dan menganggap free market tidak benar-benar free?

Kontradiksi Wanita

Saya yakin mayoritas wanita tidak setuju dengan pandangan tubuh wanita sebagai objek seksualitas. Tapi sedikit yang menyadari bahwa mereka yang menolak, secara tidak sadar dan tidak langsung, adalah pendukungnya. Hal ini dapat kita lihat di baju modern wanita yang terjual di pasar bebas. Mengapa potongan baju wanita yang populer di pasar lebih memperlihatkan kulit atau bentuk tubuhnya daripada baju pria? Mengapa, di masa yang modern yang tidak terlalu terikat oleh adat istiadat ini, baju pria dan wanita tidak disamakan saja?


Pertama, mereka sudah dibuat terpesona dengan model baju yang menggiurkan. Kedua, mereka yang lahir di era kapitalisme modern sudah mengganggap wajar. Ketiga, wanita lajang juga bersaing kecantikan di pasar jodoh yang juga free market.


Sekalipun wanita menolak sebagai objek seksualitas, mereka akan sangat kesusahan membuat keputusan untuk tidak mendukung itu. Sejak lahir, mereka sudah dibombardir oleh kapitalis. Jauh sebelum, Kardashians dan VS Angels, industri fashion dan model sudah tabur pesona dan menanamkan sugesti standar kecantikan pada otak wanita. Bombardir ini mendorong wanita untuk menggeser persepsinya terhadap tubuhnya sendiri mengarah ke objek seksualitas. Sedangkan eksposur sugesti yang dipaparkan ke kita sejak lahir menyebabkan normalisasi keadaan bahwa tubuh wanita "dijual" dimana-mana. Tanpa adanya intervensi, tren yang berakar dari patriarki ini seakan terus dipupuk oleh tidak hanya pria tetapi surprisingly wanita juga. Namun sekalipun wanita bisa sadar dan ingin mendefiniskan standar kecantikannya sesuka mereka, mereka susah lepas dari pengaruh persepsi pria yang juga telah terbombardir sugesti seksualitas modern. Ini berhubungan oleh keberadaan free market lainnya, yaitu pasar jodoh.


Efek Dari Pasar Bebas Lain: Pasar Jodoh

Dalam pasar bebas ini, seorang pria/wanita bersaing bebas mendapatkan lawan jenisnya dengan menggunakan segala cara yang legal. Pasar fashion yang memang sudah bebas diperkuat kebebasannya dengan kebebasan dari pasar jodoh. Sekalipun beberapa wanita secara ekplisit tidak setuju tubuhnya dipakai untuk objek seksualitas, mereka mengaku bahwa mereka "terpaksa" mengikuti tren, bersaing menggunakan baju yang mempertunjukkan lekuk badannya atau mengekspos tubuhnya demi bersaing di pasar jodoh yang bebas. Saya yakin banyak wanita yang menyangkal statement ini. Perlu saya tekankan, pola pikir dan perilaku ini ada, tetapi tidak selalu seekstrim dan sejelas itu. Saat wanita rasional pergi shopping pakaian, mereka condong memilih baju dengan tampilan yang terbaik (mengingat preference dibentuk oleh free market) di kelasnya, ceteris paribus. Untuk apa? Simply to impress entah ke calon pasangan, siapapun, bahkan dirinya sendiri (sekalipun terlepas dari misi pencarian pasangan). Dalih umum seperti, "ya gimana lagi, trennya emang begitu", membuktikan bahwa pola pikir dan perilaku ini eksis secara subtle di alam bawah sadar wanita rasional. Lalu di mana letak masalahnya?


Problema pasar bebas diilustrasikan dengan jelas di kompetisi olahraga yang tidak diregulasi dalam penggunaan doping. Ceteris paribus, atlit yang menggunakan doping akan lebih unggul. Tetapi jika semua atlit menggunakan doping, semua atlit akan memiliki keunggulan yang sama, membuat keunggulan itu lenyap dengan sendirinya, menyisakan kerugian bagi kesehatan semua atlit. Situasi menjadi toxic saat atlit berlomba-lomba mengejar performa dengan menambah dosis doping. Demikian juga toxicity dapat dilihat saat, ceteris paribus, banyak wanita berlomba-lomba menggunakan semua selling points-nya, termasuk aspek seksualitasnya untuk menang dalam pasar jodoh. Toxicity membuat beberapa wanita "terpaksa" keep up dengan tren sensual. Selera pasar menjadi tidak terkontrol; taste di pasar fashion mengambang mengikuti arus hawa nafsu yang subtle.


Freedom of Expression and Self Confidence

Di sisi lain, banyak sekali dalih wanita yang mengatasnamakan kepercayaan diri dan kebebasan berekspresi. Perlu disadari, kepercayaan diri dan kebebasan berekspresi ini adalah produk dari bombardir sugesti kapitalis. Kepercayaan diri atau self-love yang dipopulerkan oleh Victoria Secret, BTS, dan kapitalis lifestyle maupun entertainment lainnya, hanyalah kedok yang merangsang hawa nafsu wanita terhadap tubuhnya sendiri. Berbicara mengenai kebebesan, kebebasan berekspresilah yang dijunjung oleh kapitalis karena inilah yang paling menjual (cth: typical iklan rokok dengan call to action "bebaskan ekspresimu"). Perlu diingat, ada banyak bentuk kebebasan yang kurang populer tetapi tidak kalah diidamkan oleh wanita secara tidak sadar. Kebebasan akan pilihan (freedom from paradox of choices) ataupun kebebasan dari rasa bahaya (safe environment) seringkali di pandang sebelah mata.


Bukan pertanyaan, "Apakah dalih mereka benar?", yang seharusnya kita pertanyakan, melainkan "Kebebasan apa yang diinginkan wanita?". Tidak bisa dipungkiri, kontradiksi di dalam wanita disebabkan oleh kebebasan berekspresi dan upaya mengikuti hawa nafsu yang merupakan bentuk dukungan terhadap pusaran arus free market. Dalam novelnya Handmaid's Tale, Margareth Atwood memberikan ide bahwa kebebasan berekspresi wanita dan HAM pria yang dipangkas habis menghasilkan kebebasan lain yaitu kebebasan wanita dari rasa bahaya dan kebabasan pria dari hawa nafsu yang mencelakakan. Seperti orang yang ingin bebas dari kondisi sakit-sakitan, ia tidak bebas makan sesuai seleranya. Demikan jika wanita yang ingin mendapatkan kebebasan tubuhnya dari persepsi objek seks harus menukarkan kebebasan berekspresinya.


Tentunya, ini tidak bicara mengenai benar atau salah karena free market sudah berada di atas hukum rimba (melampaui faktor ancaman nyawa). Pasar tidak mempedulikan moralitas, pasar hanya membutuhkan kesepakatan bersama semua wanita, bahkan termasuk pria, mengingat pergerakan bebas pasar fashion dan pasar jodoh disebabkan oleh hawa nafsu kedua belah pihak. Perlu diketahui, saya tidak membicarakan topik dangkal tentang pembatasan hak wanita, lebih dari itu, tentang the type of market itself. Pertanyaan yang bisa kita renungkan: mau dibatasi atau dibiarkan saja pasar ini bergerak? Kebebasan apa yang seharusnya lebih diprioritaskan? Di mana letak garis pembatasnya? Segala sesuatu diperbolehkan tetapi apakah semuanya berguna?






Sumber Gambar:

  • https://robinblake.artstation.com/projects/x09XW

693 views0 comments

Comments


Post: Blog2_Post

Subscribe Form

Thanks for submitting!

  • Instagram

©2021 by The Essentialism. Proudly created with Wix.com

bottom of page