
Tanpa disadari, kita semua halu dalam memaknai privilese. Di bulan Agustus lalu, Tsamara Amany dengan kritis merespon pidato Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang menyebutkan bahwa anak muda tidak seharusnya dimanja dengan karpet merah (privilese). Sindiran Tsamara menyatakan bahwa AHY, yang jelas mendapatkan hak keistimewaan dari orang tuanya, tidak pantas menasihati audiensnya yang muda nan jelata.
Polemik ini membuat saya berpikir mengenai keambiguan makna privilese dewasa ini. Beberapa menafsirkan privilese sebagai pendidikan, modal kerja, koneksi, dan bahkan kekuasaan dari orang tua. Darah biru sungguhlah keunggulan. Golongan elit jelaslah keistimewaan. Namun bagaimana dengan kesehatan dan kecerdasan yang genetik? Apakah itu juga privilese?
Dalam konteks hustle culture, keunggulan genetika sering kali dikucilkan dari faktor penunjang kesuskesan. Perenang Michael Phelps tidak mungkin menjuarai Olympic jika tidak memiliki fisik bawaan perenang yang sempurna. Demikian juga, Albert Einstein tidak mungkin menemukan teori relativitas jika tidak mempunyai otak akademis yang unggul alamiah. Maka dari itu, keunggulan genetika adalah hal yang patut dipertimbangkan.
Keunggulan genetika didapatkan dari turunan genetik orang tua yang melibatkan proses pertumbuhan krusial semenjak kandungan sampai remaja. Beberapa mempercayai bahwa kecerdasan, kesehatan, dan karakter individu ditentukan oleh pertumbuhannya semasa dalam janin. Pertumbuhan janin dipengaruhi ibunya sebagai carrier yang mengolah asupan gizi, menjaga kondisi mental, dsb. Jika benar, fisik Michael Phelps yang berperforma tinggi dan otak Albert Einstein yang jenius bisa dikatakan berhutang terhadap pertumbuhan janin.
Selain itu, peradaban manusia membuktikan bahwa manusia tidak bisa menjadi mandiri sesaat setelah persalinan. Yuval Noah Harari mengatakan bahwa manusia terlahir prematur dibandingkan binatang. Bayi terlahir lemah, sangat bergantung pada orang tuanya. Sedangkan binatang dapat berjalan dan mencari makan sendiri sekejap setelah kelahirannya.
Genetika turunan dan ketergantungan manusia terhadap sesamanya akan membawa kita ke pertanyaan yang paling fundamental: jika faktor penunjang kesuksesan individu dapat ditelusuri dari genetika sampai modal usaha, lantas mana sajakah yang termasuk privilese? Mana yang bukan? Keambiguan dapat dilihat jika privilese di plot secara linear.

Mereka yang mengklaim dirinya bekerja tanpa bantuan orang tua meletakkan garis privilese setelah edukasi. Sedangkan mereka yang mengaku "street smart", belajar tanpa edukasi formal, menempatkan garis hak keistimewaan setelah dibesarkan. Lupakah mereka bahwa mereka bukanlah hewan yang bisa hidup independen sesaat setelah kelahiran?
Memang, jika semua orang unik, maka tidak ada yang menonjol. Jika semua orang berhasil, tidak ada yang sukses. Demikian juga, jika semua orang memiliki hak keistimewaan, maka tidak ada yang namanya privilese. Secara prinsip, itu betul. Tetapi perlu diketahui, keunggulan terletak di spektrum yang beragam. Hak keistimewaan bukanlah hal yang hitam dan putih. Indeks privilese tidak dapat dinilai dengan skor apalagi diplot secara linear. Apakah anak yang dibiayai oleh orang tuanya untuk mengemban ilmu di perguruan tinggi elit mendapatkan privilese lebih daripada anak yang terlahir jenius karena genetika yang turun dari orang tuanya cerdas tetapi tidak mampu membiayai sekolahnya? Tentu, jawaban ini sangatlah subjektif.
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa semua orang terlahir dengan privilese di aspek yang berbeda-beda. Hanya saja, kebanyakan tidak menyadarinya karena terlalu menitikberatkan di keunggulan yang bersifat materi dan nyata (tangible). Persepsi kita juga diperkeruh oleh kehadiran media yang gemar mengemas biografi tokoh sukses dengan kerangka rags to riches atau zero to hero. Terlebih, bias kita diamplifikasi oleh eksistensi influencer sosial media yang menggemborkan pencapaiannya tetapi "mensensor" hak keistimewaannya.
Sadarlah, "hidup memang tidak adil" adalah pernyataan yang netral. Ingatlah selalu pesan Tupac Shakur saat kamu mendengarkan pidato politisi elit yang menjual harapan kepada kaum jelata tetapi tidak mengakui karpet merahnya secara publik, "Real eyes realize real lies."
Comments